Pertanyaan:
Saya mempunyai permasalahan yang bikin pusing. Begini, pernikahan saya dengan istri pertama sudah dikaruniai anak, namun karena tidak ada kecocokan, maka kami sepakat bercerai. Selanjutnya, saya menikah lagi di lain kota.
Terhadap anak dari mantan istri pertama, saya merasa mempunyai kewajiban untuk membiayai, menyekolahkan serta membahagiakannya. Permasalahan timbul saat saya menjenguk anak saya. Mantan istri pasti memarahi saya, demikian juga dengan istri saya yang sekarang selalu marah dengan beragam alasan, ketika saya pamitan untuk menjenguk anak saya. Apalagi kalau mengajak anak ke kota kami.
Saya telah menjelaskan dengan sabar tapi keduanya tidak mengerti juga. Bagaimana cara menjelaskan kepada keduanya agar tak ada rasa cemburu dan marah?
Jawaban:
Persoalan yang saudara ungkapkan, tidak mungkin dicarikan solusinya sedemikian mudah, tanpa kami mempelajari kisi-kisi persoalannya secara lengkap. Karena yang saudara ceritakan, hanya ‘letupan’ dari persoalan atau sekian persoalan yang ada. Soal kecemburuan antar sesama wanita, mantan istri terhadap istri mantan suaminya, atau sebaliknya, itu soal biasa. Seperti juga selisih paham antara suami istri, tapi kecemburuan yang tidak berujung yang sulit diantisipasi dan hanya bisa selesai dengan diceraikannya wanita lain yang sekarang menjadi istri suaminya, atau dengan menjauhnya sang suami dari anak-anak mantan istrinya secara total, itu baru masalah. Apa yang saudara alami, memiliki tanda-tanda seperti itu. Tapi, sekali lagi, itu hanya ledakan masalah, sumber persoalannya, kami yakin masih tersembunyi. Itu yang perlu diungkapkan dan dicarikan penyelesaiannya.
Namun, bukan berarti tidak ada penyelesaian sama sekali. Mungkin beberapa sudut pandang yang bisa membantu saudara menyelesaikan masalah.
Pertama, harus ditelaah dahulu, apakah perceraian saudara berjalan sesuai tuntunan syariat, baik ketika bercerai maupun sesudahnya. Karena, semua yang terjadi saat dan setelah terjadinya perceraian, amatlah berpengaruh pada hubungan suami dengan mantan istri pada kemudian hari.
Coba simak hal-hal berikut:
1. Apakah istri saudara tetap tinggal di rumah saat diceraikan, hingga berakhir masa iddah?
Ingat, perceraian jangan selalu dianggap akhir segalanya. Bila dianggap sebagai akhir segalanya, pasti akan menimbulkan kesulitan di kemudian hari.
Allah memerintahkan seorang istri yang diceraikan untuk tetap tinggal di rumah suaminya selama masa iddah dan melarangnya untuk keluar. Allah juga mengharamkan bagi seorang suami untuk memaksa istrinya keluar dari rumah tersebut selama ia tidak melakukan perbuatan nista, seperti ucapan ataupun perbuatan kotor, sebagaimana firman Allah yang artinya:
“Dan janganlah kamu mengeluarkan mereka dari rumah-rumah mereka, dan janganlah mereka keluar kecuali apabila mereka melakukan perbuatan nista yang nyata.” (Qs. Ath-Thalaq: 1)
Dengan tetap tinggal di rumah suami, diharapkan seorang istri akan lebih terdorong minatnya untuk mau rujuk kepada suaminya, dan itu bukanlah mustahil. Karena berbagai hal yang menyebabkan perceraian, tidak jarang hanya merupakan letupan perasaan karena kesalahan-kesalahan kecil, yang dalam masa iddah tersebut kemungkinan akan disadari letak kekeliruannya.
2. Apakah saudara atau istri masih membuka pintu untuk rujuk?
Allah telah menyariatkan kepada seorang suami untuk sudi kembali istrinya yang telah diceraikannya, selama masih dalam iddah-nya, selama masih talak raj’ie, yakni apabila hal itu dianggap akan memperbaiki keadaan. Bahkan, perceraian itupun diharapkan akan menjadi sebuah pelajaran yang berharga yang tidak jarang justru menciptakan cinta kasih yang lebih meluap-luap pada diri sang istri. Oleh sebab itu, pintu rujuk jangan ditutup sama sekali, bila masih dilihat kemungkinan untuk memperbaiki keadaan. Kecuali, perceraian karena perbedaan keyakinan agama dan hal lain yang tidak mungkin dikompromikan atau diadakan perubahan (Lihat Tafsir As-sa’di: 26-261).
Allah berfirman:
يَاأَيُّهَا النَّبِي إِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَآءَ فَطَلِّقُوهُنَّ لِعِدَّتِهِنَّ وَأَحْصُوا الْعِدَّةَ وَاتَّقُوا اللهَ رَبَّكُمْ لاَتُخْرِجُوهُنَّ مِن بُيُوتِهِنَّ وَلاَيَخْرُجْنَ إِلآَّ أَن يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَتِلْكَ حُدُودُ اللهِ وَمَن يَتَعَدَّ حُدُودَ اللهِ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ لاَتَدْرِي لَعَلَّ اللهَ يُحْدِثُ بَعْدَ ذَلِكَ أَمْرًا
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddah-nya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Rabb-mu. Jangan kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu sesuatu hal yang baru.” (Qs. At-Thalaq: 1)
Tapi, kalau memang dianggap sudah tidak mungkin diadakan perbaikan, persoalannya lain. Allah berfirman yang artinya:
وَمَاجَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ
“…dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan…” (Qs. Al-Hajj: 78)
Nah, bila proses perceraian itu sudah dilakukan sesuai syariat, namun terjadi juga hal-hal lain yang tidak diinginkan dari pihak istri, bisa jadi itu hanya faktor kecemburuan yang berlebihan. Mungkin ia masih sangat mencintai saudara, sehingga tidak rela ada wanita lain yang menggantikan posisinya. Ada baiknya, diupayakan rujuk kembali, kalau masih memungkinkan. Demikian juga bila terjadi dari istri saudara yang sekarang. Kemarahannya jelas didasari oleh kecemburuan yang hebat. Aisyah juga pernah cemburu terhadap Khadijah yang sudah lama wafat. Tapi kecemburuan itu terbatasi oleh imannya, sehingga tidak membawanya berbuat yang diharamkan Allah.
Oleh sebab itu, hal kedua yang harus Saudara lakukan, menanamkan keyakinan dan etika Islam pada diri istri Saudara. Sadarkanlah akan kewajiban Saudara terhadap anak-anak Saudara dari mantan istri Saudara. Sadarkanlah akan kewajibannya sebagai istri, untuk selalu membantu dan meringankan beban suami, membantu suami melaksanakan kewajibannya.
Lakukan itu dengan penuh kesabaran, mudah-mudahan ia bisa menerimanya. Bahkan, bila suatu saat si istri bisa menerima kembali kehadiran mantan istri saudara sebagai madunya, akan lebih baik lagi, insya Allah. Karena dengan cara itu, keduanya bisa belajar, bahwa suami mereka bukanlah milik mereka sendiri. Yakni, bukan milik satu istri saja. Sifat egonya, semakin lama akan semakin terkikis.
Tapi, tetap kami sarankan agar berhati-hati dalam melakukannya, tidak terburu-buru, dan disesuaikan dengan kebutuhan Saudara. Bila Saudara merasa hanya mampu memiliki satu istri, bahkan tidak membutuhkan lebih dari satu istri, Saudara tidak boleh memaksa diri. Tinggal tanamkan keyakinan dan etika Islam pada diri istri Saudara. Sampaikan juga kepada mantan istri Saudara, sebatas kemungkinan. Mudah-mudahan persoalannya akan dapat diatasi. Selalulah berdoa di waktu-waktu mustajab, agar upaya Saudara mendapatkan kemudahan. Bila persoalan masih berlanjut, coba ceritakan kembali detail persoalannya kepada kami, sehingga kita carikan solusinya secara lebih mendetail pula. Kamu selalu membantu dengan doa.
Sumber: Majalah Nikah Vol.04 No. 07 2005
Dipublikasikan oleh: KonsultasiSyariah.com
🔍 Hukum Menggabungkan 2 Niat Puasa Sunnah, Foto Prank, Bolehkah Seorang Suami Menjilat Kemaluan Istrinya, Menikah Beda Agama Menurut Islam, Doa Pendekat Jodoh, Kerudung Lebar